Search

mooibandoeng

Pengeluyur di Bandung

Category

Pasar Baru

Penelusuran Belum Usai (5)

Lanjutan kisah Roman Rasia Bandoeng oleh Lina Nursanty.

SATU per satu tokoh dalam novel roman Rasia Bandoeng terungkap. Setelah hampir satu abad sejak pertama kali novel itu diterbitkan pada awal abad 20, cucu dan cicit para tokoh bermunculan. Mereka mencari asal usul leluhurnya melalui kepingan cerita dalam novel. Dendam lama yang diceritakan dalam novel pun telah terkubur seiring dengan perkembangan zaman. Yang tersisa adalah sebuah cerita roman yang berakhir tragis bagi Hermine Tan.

Dalam bukunya yang berjudul Women and Malay Voices. Undercurrent Murmurings in Indonesia’s Colonial Past, Tineke Hellwig secara hati-hati mencoba memisahkan pembahasan sosok Hermine asli dengan sosok Hermine dalam novel. Ia juga menyatakan simpati kepada Hermine yang dianggapnya sebagai korban dari novelis patriarkat yang tega mengumbar kehidupan pribadi dan bahkan hingga membentuk opini publik yang merugikan nama Hermine. Hingga akhir hayatnya, Hermine tidak terbuka meski kepada anak-anaknya mengenai cerita ini. Continue reading “Penelusuran Belum Usai (5)”

Romeo Juliet dari Citepus (4)

Lanjutan kisah Roman Rasia Bandoeng oleh Lina Nursanty.

SERAYA berseloroh, Charles Subrata menyebut kisah cinta antara Tan Gong Nio dan Tan Tjin Hiauw dalam novel roman Rasia Bandoeng yang terbit pada awal abad ke-20 di Kota Bandung sebagai “Kisah Romeo-Juliet dari Citepus.” Penyebutan itu terilhami dari kisah perjuangan cinta antara keduanya yang sangat berat karena harus melawan adat feodal.

Seperti diceritakan pada serial ini sebelumnya, Charles yang kini bermukim di Belanda itu mengaku sebagai keponakan Tan Tjeng Hoe yang tak lain adalah Tan Tjin Hiauw yang diceritakan dalam novel tersebut. Seperti juga kerabatnya yang lain, Charles kehilangan jejak kekasih dan isteri pamannya yang bernama Tan Giok Nio atau Hermine Tan. Di dalam novel, nama Hermine diubah menjadi Hilda Tan atau Tan Gong Nio. Continue reading “Romeo Juliet dari Citepus (4)”

Tan Sim Tjong (3)

Bagian ketiga:

Pencarian Makam Tan Sim Tjong

SEMASA hidupnya, Tan Sim Tjong dikenal sebagai saudagar kaya yang memiliki tanah luas yang tersebar di antara Cibadak, Jalan Raya Barat (Jenderal Sudirman sekarang, RED), dan sekitar Kali Citepus. Selain sebuah rumah gedong besar, keluarga Tan Sim Tjong juga memiliki kebun yang ditanami pohon bambu Cina dan pohon jeruk. Saking luasnya kebun jeruk itu, isteri Tan Sim Tjong disebut warga sekitar dengan sebutan Nyonya Kebon Jeruk. Kini, area tersebut dinamai Kelurahan Kebon Jeruk.

Selain di wilayah itu, tanah Tan Sim Tjong juga ada di ujung Jalan Raya Barat, tepatnya di wilayah Elang. Pada saat itu, Elang masih merupakan area hutan dan pesawahan. Di area itulah Sim Tjong memilih lahan sebagai makam dirinya. Karena adanya makam orang Tionghoa, sampai sekarang kampung tersebut dinamakan Sentiong.

Batu nisan makam Tan Sim Tjong di Kampung Sentiong, Jalan Elang, Kota Bandung.
Batu nisan makam Tan Sim Tjong di Kampung Sentiong, Jalan Elang, Kota Bandung.

Continue reading “Tan Sim Tjong (3)”

Tan Sim Tjong (2)

Bagian kedua:

Gang Simcong dan SD Simcong

DI dalam roman Rasia Bandoeng, Tan Shio Tjhie digambarkan sebagai sosok yang progresif karena tidak menentang kehendak anaknya, Tan Tjin Hiauw, untuk menjalin hubungan asmara dengan Tan Gong Nio. Padahal, dalam adat budaya Tionghoa saat itu, perkawinan satu marga (she) adalah hal tabu dan terlarang. Tan Shio Tjhie tahu benar soal itu, namun ia berbesar hati mengantar anaknya itu untuk melamar sang pujaan hati.

Sosok Tan Shio Tjhie diyakini tak lain adalah Tan Sim Tjong oleh cucu cicitnya. Bagi sosok saudagar seperti Tan Sim Tjong, hubungan asmara anaknya dengan Tan Gong Nio adalah tantangan yang sangat berat karena itu artinya harus melawan adat. “Rupanya dia punya gebrakan pada masanya, contohnya mendukung perkawinan satu marga. Itu saya anggap sebagai sesuatu sosok yang progresif, menyayangi anak, dan memberi keleluasaan bergerak,” ujar cicit Tan Sim Tjong, Bambang Tjahjadi. Continue reading “Tan Sim Tjong (2)”

Tan Sim Tjong (1)

Berikut ini serial penelusuran tokoh Tan Sim Tjong yang ditulis oleh rekan saya dan sudah dimuat bersambung di HU Pikiran Rakyat

Bagian Pertama:

Telusur Silsilah Melalui Roman

MENJELANG Imlek lalu, Pikiran Rakyat mengulas sebuah roman Tionghoa yang menceritakan perkawinan satu marga (she) di Bandung pada tahun 1917. Roman berjudul Rasia Bandoeng yang ditulis oleh Chabbaneau itu mengisahkan drama percintaan antara Tan Tjin Hiauw dan Tan Gong Nio. Satu abad berlalu, roman tersebut ternyata menyisakan sebuah cerita nyata bagi turunan keluarga Tan Sim Tjong.

Adalah Charles Subrata, Bambang Tjahjadi, Wishnu Tjahyadi, Adji Dharmadji, dan dr. Benjamin J. Tanuwihardja, SpP, FCCP yang kemudian berkumpul di Kantor Redaksi Pikiran Rakyat pada Jumat (3/4/2015). Mereka adalah cucu dan cicit Tan Sim Tjong yang telah puluhan tahun tinggal berpencar. Charles bermukim di Belanda, Bambang di Jerman, Adji di Jakarta, Wishnu di Bekasi, dan Benjamin di Bandung. Turut pula Tjandra Suherman sebagai penerjemah Bahasa Tionghoa. Atas bantuan Direktur Pusat Studi Diaspora Tionghoa, Sugiri Kustedja, mereka berkumpul mengonfirmasi cerita demi penelusuran silsilah keluarga. Continue reading “Tan Sim Tjong (1)”

Siapakah Chabanneau? – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)

Siapakah Chabanneau?

Ada informasi yang cukup mengejutkan ketika menelusuri jejak literatur yang menyinggung nama Chabanneau ini. Seorang antropolog, James T Siegel, menguak kabar bahwa ternyata sang penulis roman sesungguhnya adalah seorang pemeras.

Roman (3) 18 februari
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 3) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2015.

Dalam buku Siegel berjudul Fetish, Recognition, and Revolution, Chabanneau diidentifikasi sebagai seorang laki-laki. Siegel berkali-kali menyematkan kata ganti dalam bahasa Inggris “his” atau “him” kepada Chabanneau yang menunjukkan bahwa subjek yang sedang diceritakan adalah seorang laki-laki.

Menurut Siegel, cerita ini memang kisah nyata yang dialami Hermine Tan yang lahir pada tahun 1898 dan meninggal pada tahun 1957 di Bandung. Chabanneau menulis cerita ini berdasarkan surat-surat berisi curahan hati yang dikirim oleh Hilda (yang diduga adalah nama samaran Hermine) kepada seorang pria bernama Lie Tok Sim. Continue reading “Siapakah Chabanneau? – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)”

Blog at WordPress.com.

Up ↑